Jumat, 16 Maret 2012

Kebudayaan Daerah Merupakan Sumber Kebudayaan Nasional

Kebudayaan Nasional



Arti Kebudayaan


·         Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan berasal daribahasa Sansekerta yaitubuddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung dan mahal.
·         Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

JENIS-JENIS KEBUDAYAAN


Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan jenis-jenisnya:


·                     Hidup-kebatinan manusia, yaitu sesuatu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adat-istiadatnya,pemerintahan negeri, agama atau ilmu kebatinan
·                     Angan-angan manusia, yaitu sesuatu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan.
·                     Kepandaian manusia, yaitu sesuatu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah


Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing adalah plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen (aneka ragam). Pluralitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, dan bukan ketunggalan. Sedangkan heterogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsure-unsurnya. Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta dan kebudayaannya bisa sungguh-sungguh berbeda satu dari yang lainnya (Kusumohamidjojo,2000).
Hal yang menonjol dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pluralisma masyarakat Indonesia dicerminkan oleh banyaknya suku bangsa yang bernaung didalamnya. I8dentitas budaya etnik, terakumulasikan dalam berbagai ruang kultur, misalnya dala bentuk ritual keagamaan, pementasan, kesenian, dll. Terjadinya kemajemukan pada masyarakat Indonesia disebabkan oleh berbagai factor, yaitu : faktor geografis, faktor histories,faktor sosial-budaya, faktor sosial ekonomi, faktor sosial politik, dan faktor sosial psikologis (Sumaatmadja, 1980).
        Di satu pihak kita bangga akan keanekaragaman etnik/budaya yang ada dalam masyarakat kita, namun sesuai dengan konsep rwa bhineda atau oposisi binary, dibalik berkah itu, kemultietnikan mengandung pula musibah, yakni kerawanan akan konflik. Mengingat kenyataan seperti itu maka negara ini hanya bisa bertahan dalam persatuan jika segenap warga dan pemerintahnya memberikan tempat yang pantas pada keanekaragaman tersebut sambil menjalankan penyelenggaraan pemerintahan yang menghormati kemandirian daerah tetapi juga mengkedepankan solidaritas untuk memajukan daerah-daerah diseluruh Indonesia. Komitmen kearah itu tampaknya sudah diupayakan, dan terwujudkan terbukti dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah/Otonomi Daerah. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang tersebut mengarah kepada pemberdayaan masyarakat lokal dalam segala aspeknya, termasuk bidang kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan daerah/lokal diposisikan sebagai sumber daya bagi pembangunan yang harus dipedomani dan sekaligus diberdayakan, sehingga masyarakat lokal berkembang diatas basis kebudayaannya sendiri (Atmadja, 2000).
Kemajemukan bangsa Indonesia yang disemboyankan dalam Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi Satu) berarti terhimpunnya beragam suku bangsa menjadi satu bangsa. Semboyan ini terwujud oleh adanya dorongan cita-cita sebagai landasan ideal yang dijadikan rujukan dalam perjalanan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu.sehubungan dengan hal itulah maka diupayakan merumuskan konsepsi kebudayaan nasional, sebagaimana tampak dari munculnya berbagai pemikiran tentang kebudayaan. Menurut Sultan Alisyahbana, kebudayaan nasional harus diciptakan sebagai sesuatu yang baru dengan mengambil banyaknya unsur-unsur dari kebudayaan Barat, seperti; teknologi,
orientasi ekonomi, keterampilan berorganisasi, dan ilmu pengetahuan. Sedang Sanusi Pane berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan timur harus mementingkan kerohanian, perasaan, dan gotong royong. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Poerbatjaraka, yang menyatakan bahwa dalam membangun kebudayaan baru harus memperhatikan sejarah dan kebudayaan bangsa sendiri. Dengan demikian kebudayaan Indonesia benar-benar berakar pada kebudayaan suku-suku bansa Indonesia. Ki Hajar Dewantara juga berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak dari kebudayaan daerah. Dalam perkembangan pemikiran tentang kebudayaan nasional tampaknya berbagai pendapat yang berkembang terakomodasi dalam rumusan kebudayaan nasional sebagaimana tertuang dalam ketentuan pasal 32 UUD’45 dan penjelasannya. Dalam pasal 32 UUD’ 45 dinyatakan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional. Lebih lanjut dalam penjelasan UUD’ 45 dinyatakan sebagai berikut :
Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai hasil usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan yang lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kea rah kemajuan abad, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia.
Penjelasan tersebut pada dasarnya mengandung makna tentang isi dan arah pengembangan kebudayaan nasional, baik sebagai lambing integritas, lambing keselarasan, dan lambang kemajuan. Sebagai lambang yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan sebagai lambang kesataraan kebudayaan nasional harus berupaya mewujudkankerangka acuan bagi penyelenggara kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdaulat dan menempatkan diri setara dengan kemajuan, kebudayaan nasional harus mampu merangsang kreativitas pembaharuan menuju peradaban ( Symbol of modernization ) ( Budhisantoso, 1997 ). Sehubungan dengan hal tersebut maka Poespowardoyo mengemukakan bahwa dalam mengembangkan kebudayaan nasional perlu memperhatikan asas-asas pokok yang terkandung dalam pancasila ( asas ketuhanan, asas kemanusiaan yang adil dan beradab, asas kesatuan bangsa, asas kerakyatan, dan asas keadilan ) dan asas-asas penguat seperti asas kebhinekaan, asas kreativitas, asas ketuhanan, asas kekeluargaan, dan asas keberlangsungan hidup bangsa ( Supartono, 2001 ). Sehingga kebudayaan nasional benar-benar menjadi gagasan kolektif, dan fungsional dalam setiap dinamika masyarakat Indonesia.
Kebudayaan nasional menurut Kontjaradiningrat mempunyai dua fungsi, yaitu:
(1) sebagai suatu system gagasan dan perlambang yang memberikan identitas kepada warga negara Indonesia.
(2) sebagai suatu system gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang berbhineka untuk saling berkomunikasi, dan memperkuat solidaritas.



Sejarah Timbulnya Berbagai Macam Kebudayaan Daerah

Budaya timbul dari turun temurun kebiasaan dan pola pikir nenek moyang kita yang di ajarkan baik melalui perbuatan, lisan dan mitos-mitos yang berkembang di Zaman tersebut.  Indonesia adalah Negara yang begitu luas dan memiliki ciri khas memiliki banyak pulau-pulau yang terpisah oleh lautan dan selat, memiliki sejarah perkembangan budaya yang tidak sama dan membuat kebudayaan itu menjadi semakin beragam. Daerah yang berada dalam satu wilayah pun kadang mengalami perbedaan perkembangan kebudayaan. Hal ini karena adanya perbedaan intensitas budaya asing yang masuk ke masing-masing daerah. Pada zaman dulu banyak para pedagang asing yang singah di negara indonesia, mereka akan membawa budayanya mereka kepada masyarakat indonesia yang menjadi berkembang dan tertanam sejak jaman itu dan perbedaan periode (lama waktu) intervensi budaya luar terhadap budaya lokal daerah. Para pedagang asing itu pasti memiliki periode waktunya untuk mendatangi pulau indonesia. Bahkan untuk negara-negara yang jauh dari kawasan Indonesia harus menempuh jalur yang sangat jauh. Hal ini juga mempengaruhi terjadinya perbedaan waktu tentang masuknya budaya. Dan ada juga hal dimana pedagang asing hanya berlabuh singkat di indonesia,maka budaya yang akan di serap juga berbeda.

faktor –faktor utama tersebut berperan dalam membentuk budaya Indonesia saat ini yang begitu beragam. Dalam perkembangannya,Unsur religi melatar belakangi perkembangan budaya. Unsur tersebut melahirkan pandangan hidup dan Pola pikir. Religi selalu hadir dalam bentuk apa pun di setiap kebudayaan etnik di dunia. Tak terkecuali etnik di Nusantara. Bentuk Religi dalam wujudnya yang paling pertama adalah menghormati kekuatan yang mengisi ruang alam. Kekuatan tersebut mencakup kekuatan negatif maupun positif. Tak bisa disangkal bahwa kedua kekuatan tersebut hadir dalam kehidupan manusia. Kekuatan tidak berbentuk dan dapat menghuni berbagai ruang seperti bebatuan, sungai, pepohonan atau lembah.
Saat peradaban mulai berkembang, religi menyesuaikan bentuknya dengan pemikiran manusia. Ketua kelompok dipilih oleh anggotanya berdasarkan konsep Primus Interpares (yaitu orang yang paling unggul di antara para unggulan). Selama menjadi pemimpin, ketua kelompok diharuskan sanggup menyelenggarakan pesta jasa (fiest of merit) pada seluruh anggotanya. Pesta tersebut bisa berupa pendirian monumen untuk mengenangnya. Monumen tersebut biasanya berbentuk punden berundak, dengan menhir yang menjulang tegak di atasnya. Jika meninggal, roh ketua kelompok akan mendiami puncak-puncak gunung bersama roh leluhur. Roh ketua kelompok dapat dipanggil sewaktu-waktu rakyatnya memerlukan pertolongan dengan memasuki menhir yang menjadi simbolitas. Dengan demikian lahirlah Religi Pemujaan terhadap Arwah Leluhur (ancestor worship) di Nusantara.
Demikianlah ketika agama besar dunia hadir ke kehidupan penduduk di kepulauan Nusantara pada awal tarikh Masehi. Dalam bidang religi, nenek moyang kita sudah mempunyai dasar yang baik, yaitu sudah bisa mengidentifikasikan kekuatan supranatural. Mereka sudah mampu mengatur warganya sesuai dengan pandangan hidup terhadap kekuatan supranatural. Mereka juga mampu menciptakan kesenian yang didedikasikan untuk kekuatan supranatural, dan masih banyak lagi bentuk apresiasi lainnya untuk alam supranatural. Agama Hindu dan Buddha yang diterima secara luas di Jawa, Sumatera, Bali, dan sedikit di Kalimantan sebenarnya merupakan pembungkus dari ritual pemujaan terhadap arwah leluhur. Agama Islam, Kristen, Katholik yang datang menyusul mendapatkan sambutan yang baik dan berkembang dengan subur di beberapa wilayah berbeda Nusantara. Perbedaan pendalaman agama-agama besar itu terjadi karena akulturasi dengan lapisan kebudayaan yang sudah mengendap sebelumnya. Hingga dewasa ini kehidupan religi di Indonesia berjalan dengan baik, rasa toleransi, dan melanjutkan tradisi tetap hidup, di antara etnik-etnik besar atau pun kecil.
Budaya Indonesia mulai berkembang sejak Zaman:
a.         Zaman Batu Tua (Paleolitikum)
Periode zaman ini adalah antara tahun 50.000 SM - 10.000 SM. Pada zaman ini, manusia hidup secara nomaden dalam kumpulan kecil untuk mencari makanan. Mereka memburu binatang, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan sebagai makanan. Mereka belum bisa bercocok tanam. Mereka menggunakan batu, kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan memburu. Mereka membuat pakaian dari kulit binatang tangkapan mereka. Selain itu, mereka telah pandai menggunakan api untuk memasak, memanaskan badan dan mengusir binatang.
b.         Zaman Batu Pertengahan (Mesolitikum)
Ketika masa mesolitikum, penduduk Indonesia sudah mulai hidup dengan cara menetap dan sudah mulai bercocok tanam secara sederhana untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka, disamping berburu hewan dan menangkap ikan. Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous roche).
·         Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur yang berisi siput, kerang dan barang-barang hasil kebudayaan seperti kapak genggam, ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera.
·         Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal. Ditemukan didaerah Madiun, Besuki, Timor dan Rote.
c.            Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman batu muda (Neolitikum) benar-benar membawa revolusi dalam kehidupan manusia. Pada zaman ini, mereka telah hidup menetap, membuat rumah, membentuk kelompok masyarakat desa, bertani dan berternak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejalan dengan itu revolusi alat-alat penunjang kehidupanpun terjadi.
Setelah masa Neolitikum, kemudian kebudayaan Indonesia berlanjut kemasa zaman logam. Hal ini ditandai dengan dikenalnya tekhnik untuk mengecor / mencairkan logam dari biji besi, dan menuangkan kedalam cetakan-cetakan serta mendinginkannya. Oleh karena itulah mereka mampu membuat aneka ragam senjata berburu dan berperang serta alat-alat lain yang mereka perlukan.
Pada masa kekuasaan Hindu-Buddha, masyarakat bisa mengangkat negeri ini hingga mencapai kejayaan. Masyarakat saat ini masih merasa ikut memiliki peninggalan peradaban tersebut, misalnya peninggalan kerajaan Sriwijaya atau Mataram Kuno. Peninggalan tersebut rupanya bisa dimanfaatkan menjadi sumber penghidupan masyarakat saat ini. Wisatawan berdatangan untuk melihat peninggalan sejarah yang dijadikan sebagai objek wisata, mengagumi kejayaan masa lalu. Hal itu membuktikan bahwa sistem sosial masyarakat di masa lalu tidaklah buruk, bahkan mereka mampu membangun karya monumental yang membanggakan.
Masa kejayaan Islam merupakan kebanggaan bagi sebagian masyarakat. Hal itu ditimbulkan dari anggapan bahwa keberhasilan penyebar agama Islam mampu menanamkan kekuasaan di Nusantara. Masyarakat yang tadinya tidak beragama / kafir, bisa diubah menjadi masyarakat yang bermartabat dan agamis. Agama Islam menjadi rujukan pembuatan tata nilai atau seluruh tindakan sosial di Nusantara.
Beberapa kesultanan didirikan oleh bangsa Arab atau setidaknya mengadopsi nama-nama Arab yang menandakan mereka adalah Islam. Istilah “sulthan” menjadi sebutan bagi penguasa di berbagai kerajaan kecil yang mampu bertahan. Pertikaian antarkelompok mewarnai kerajaan-kerajaan Islam. Di Aceh, pengikut Hamzah Fansyuri diburu dan seluruh buku karangan Hamzah Fansyuri pun dibakar. Pengikut Ar Raniri, orang Arab dari Kerala, membantu mempertahankan kelangsungan Islam di Aceh.
Penyebar Islam di Jawa kebanyakan merujuk pada satu dewan wali yang dikenal dengan Walisongo. Beberapa anggotanya seperti Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, kyai Pandan Aran masih menjadi tokoh yang sangat dikagumi hingga masa kini. Di Sulawesi ada kesan khusus pada satu tokoh Islam karena dianggap sebagai simbol perlawanan pada kaum kafir, orang Belanda, yaitu Syeh Yusuf yang diasingkan ke Afrika Selatan.
Masyarakat Islam Indonesia pada masa kini belum berhasil menghasilkan sesuatu yang bermakna. Mungkin satu-satunya peninggalan kerajaan Islam yang tersisa adalah “Serat Centhini di Jawa”, yang berupa sebuah ensiklopedi yang cukup tebal. Serat itu mungkin hanya tertandingi oleh “La Galigo” dari Sulawesi Selatan yang mungkin dibuat pada masa Kerajaan Sawungaling. Masyarakat saat ini tidak mampu bersatu untuk menciptakan karya-karya monumental seperti masa dahulu.
Masa pendudukan Belanda di Indonesia merupakan masa-masa paling gelap. Bangsa Indonesia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berkembang sebagai suatu bangsa yang mandiri. Kita hanya bisa mengagumi bagaimana bangsa Jepang mampu bertahan dan melakukan restorasi Meiji yang terkenal sehingga menyejajarkan kedudukan Jepang dengan bangsa-bangsa Barat.
Selanjutnya, orang-orang yang digolongkan ke kelompok ‘abangan’ ini mampu melahirkan ide-ide cemerlang untuk bangsa. Kita semua mengenal nama-nama seperti Tan Malaka, Douwes Dekker, atau bahkan Bung Karno. Tokoh-tokoh tersebut telah merintis jalur ke arah kemerdekaan dan memungkinkan pembebasan bangsa ini dari segala bentuk penjajahan baik fisik, ekonomi, dan mental spiritual.
Sejak 1945, setelah Jepang menyerah pada sekutu, bangsa Indonesia merasa bebas dan bersatu mendirikan negara Indonesia.Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila menjadi landasan falsafah bangsa. Sebagai landasan idiologi yang mengambarkan ciri khas negara indonesia tidak di miliki negara lain.